Kehancuran kekhalifahan Abassiah di abad X, telah merubah pola perdagangan dari Timur Tengah ke Asia Timur secara fundamental. Sejak itu mulailah di wilayah samudra Samudera Hindia muncul kota-kota pelabuhan yang menyediakan berbagai fasilitas yang lazim disebut imperium. Jaringan imperium tidak memungkinkan kapal-kapal dagang untuk melayari seluruh rute pelayaran yang terbentang antara Jazirah Arab hingga ke Cina. Mereka cukup berlayar dari satu imperium ke imperium lainnya untuk mendapatkan komoditi-komoditi dagangan yang mereka perlukan dan buah cengkeh juga dikenal melalui jaringan imperium tersebut dan dihargai dengan harga yang fantastis
Sebelum tempat asal cengkeh ditemukan oleh orang Eropa, status komoditas ini mengandung unsur mistis dan magis, bagi bangsa Eropa. Banyak kisah yang menakjubkan di masa lalu terkait cengkeh ini. Dikisahkan bahwa para bangsawan rela mengorbankan banyak uang, waktu, bahkan nyawa untuk menemukan kepulauan rempah-rempah ini.
Cengkeh adalah daya tarik utama bagi orang Eropa dan menuju pada penemuan tanah-tanah baru oleh orang Eropa, misalnya Amerika dan Pasifik. Pentingnya cengkeh bagi kehidupan bangsawan di Eropa, melahirkan para Penjelajah Spanish dan Portuguese melakukan ekspedisi untuk menemukan tempat di mana cengkeh itu tumbuh. Cengkeh tergolong komoditas langka dan sangat mahal di Eropa pada abad pertengahan dan hanya terdapat di Kepuluan Molocu (Maluku)
Maluku terkait erat dengan kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara sebagai akibat dari munculnya jaringan imperium di kawasan tersebut (Pradjoko, 2013;315). Maluku memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan dengan para saudagar dari Tiongkok, India, Timur Tengah atau dikenal dengan sebutan “ne¬geri-negeri di atas angin”. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, dan Ternate menjadi penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai pemasok cengkeh. Karena cengkeh—lah orang Eropa datang ke Dunia Maluku (Ternate, Tidore, Moti dan Makeang) dan menjajah Nusantara (Indonesia).
Satu fakta yang tidak terbantahkan dalam sejarah adalah bahwa Maluku telah dikenal dunia sejak berabad-abad lalu dan menjadi wilayah impian bagi orang Eropa di Abad Pertengahan. Meskipun demikian, nama dan letak wilayah Maluku dirahasiakan oleh para saudagar dari Cina, India, Turki, dan Persia, yang pada saat itu memainkan peranan penting dalam perdagangan rempah-rempah di tingkat internasional.
Upaya menyembunyikan ini dilakukan dengan mengarang cerita yang mengerikan tentang letak wilayah ini. Maka muncullah cerita, misalnya bahwa di wilayah penghasil rempah-rempah, yang terletak di wilayah timur jauh itu, adalah sebuah tempat di ujung dunia yang curam dan berbahaya untuk pelayaran (Andaya, 1993).
Cengkeh salah satu komunitas penting yang tumbuh di Kepuluan Maluku dan memainkan peranan penting selama beberapa abad. Cengkeh menjadi komonditi unggulan, bernilai tinggi, dan mampuh bersaing dalam skala internasional, ini dibuktikan dengan masuknya para saudagar Cina, India, Turki, dan Persia, dan Eropa. Bahkan Abad Pertengahan, 1 kg cengkeh setara dengan 7 kg emas. (Helmi Yahya, 2014:56).
Jauh sebelum kehadiran orang Eropa, orang China telah melakukan kontak dengan kepulauan rempah-rempah sejak masa Dinasti Ming (John Miksic, 2007; 253). Oleh Antonio Galvao (1544;201) orang China merupakan orang pertama yang melakukan kontak pelayaran dan perdagangan dengan orang Maluku. Itulah kenapa nama Maluku sangat bervariasi disebut oleh orang China berkisar 13 nama.
Penringnya cengkeh ini dibuktikan dengan temuan peta China di abad XV yang telah dicantumkan kepulauan rempah-rempah dalam berita pelayaran dan menyebutnya “Shun Feng Shiang Suug”, sebagai pedoman pelayaran melalui jalur perniagaan bagian timur (Fauzi dan Razif, 2017: 23). Aktivitas pelayaran adalah medium komunikasi masyarakat di suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Untuk melakukan pelayaran tentu membutuhkan kapal, navigasi (tradisional-moderen) dan tidak kalah penting adalah pelabuhan atau dermaga. Lantas bagaimana dan dimana perdagangan cengkeh di Ternate pada waktu itu?
Talangame
Beberapa catatan Portugis menyebutkan bahwa Talangame adalah nama pelabuhan pertama di Ternate (Fernã Pinto,1989) Tradisi tutur masyarakat Ternate merekam bahwa Talangame asal kata dari “ngame” yaitu jenis pohon yang tumbuh di sekitar pantai. Kebiasaan masyarakat Maluku memberi nama tempat sesuai dengan apa yang terdapat disekeliling mereka seperti nama jenis pohon. Dahulu, pulau Ternate banyak ditumbuhi beraneka ragam pohon. Jadi, Talangame berasal dari gabungan kata “tala” dan “ngame”. Sehingga “Talangme” dapat diartikan sebagai pelabuhan yang banyak ditumbuhi pohon “ngame”. Pelabuhan ini telah diduga telah aktif jauh sebelum memerintahnya Sida Arif Malamo (1317-1331) berkuasa. Keramian inilah memicu Arif Malamo menggagas konsep “Tar No Ate” (Crab,1878:38).
Sejak memerintah Kolano Sida Arif Malamo (1317-1331), ia membuka bandar utama perdagangan di Ternate untuk mempertemukan saudagar dari pelosok Nusantara dan Asia Tenggara (Fauzi dan Razif, 2017: 85). Ternate mewakili masyarakat Maluku membuka bandar niaga—jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan masyarakat Maluku dengan para saudagar yang datang melakukan transaksi jual beli cengkeh dan kain sutra, proselen, barang-barang mewah lainnya di Pelabuhan Talangame. Oleh Reid (2011: 125) Sampai abad XIV salah satu pelabuhan terpenting adalah Ternate yang melakukan aktivitas dagang.
Setiap tahun di musim angin barat para pedagang dari Gujarat, Persia, Filipina berkumpul di Malaka selama berminggu-minggu untuk untuk menunggu angin timur. Orang Jepara, Tuban, Gersik dan Demak datang melakukan jual beli cengkeh yang diperoleh dari Maluku dengan memanfaatkan angin musiaman (Remarks, 1974; 185)
Beberapa Kejadian Penting di Talangame
Sejauh kapal berlayar, sekali kelak akan berlabuh ke pelabuhan. Ramai dan tidaknya pelabuhan tergantung dari berbagai faktor, diantaranya yang terpenting adalah faktor ekologi (Lapian, 2008: 95).
Talangame menjadi pelabuhan saat itu, karena faktor ekologi dan kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin, dan arus, sebab diapiit oleh pulau Tidore dan Maitara serta memiliki teluk yang besar dalam serta daya tampung kapal yang banyak seprti yang dicatat oleh Fernao de Magalhaes (1519-1522). A existência de um bom porto em Ternate, que a vizinha ilha de Tidore não possuía, foi o factor decisivo para a escolha do local para a fortaleza, que distava uma légua de Talangame, porto de águas profundas capaz de servir de ancoradouro às naus vindas da Índia.
Selain fungsinya utama sebagai tempat berlabuhnya kapal, Talangame juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dan berdagang. Dengan demikian Talangame menjadi senteral perdagangan waktu itu dan di pelabuhan inilah pertama kali orang Melayu, China, Arab, Portugis, Inggris, dan Belanda berlabuh dan melakukan kontak awal dengan orang Ternate serta pihak Kesultanan Ternate. Oleh Fraassen (1987) rombongan pelayaran yang di lakukan oleh Portugis untuk membeli cengkeh mendiami areal Talangame atas ijin sultan Ternate dan memiliki sebuah loji besar sebagai penampung hasil dagang mereka.
Talangame juga menjadi saksi ketika pertama kali Gubernur Maluku, Antonio Galvao (1537-1540) dikirim ke Ternate dan tiba di Pelabuhan Talangame pada 27 Oktober 1537 dengan sebuah armada Portugis (Tiele, 1879; 43). Galvao adalah gubernur yang baik jika dibandingkan dengan gubernur sebelumnya. Ia juga membangun menata dan membangun Kota Portugis di Ternate yang telah hangus terbakar lantaran perang dengan orang Ternate. (Hubert, 1974: 32).
Catatan harian Galvao juga menceritakan betapa indah dan strategisnya pelabuhan yang terdapat di Ternate dalam melakukan manuver dari arah laut kepada lawan. Hal yang sama juga di narasikan oleh Antonio Pigafetta (1521) yang menyingahi Tidore dalam melakukan ekspedisi menemukan pulau rempah-rempah. Ia mencatat bahwa ketika kapal Victoria dan Trinidad membuang sauh di Tidore pada 8 November 1521 dan diketahui oleh Sultan Tidore, Al Mansur (1512-1526). Keesokan harinya sultan mmintah untuk memindahkan kapal dan berlabuh (masuk) ke Kota Tidore, karena kapal Victoria dan Trinidad berlabuh yang berlabu di tanjung Mareku (saat ini kampung Rum), berdekatan dengan pelabuhan Talangame (Ternate) yang telah terdapat kapal-kapal Portugis. Keesokan harinya kedua kapal tersebut berlabuh di pelabuhan sultan yaitu depan Istana Mareku (Garcia, 1992:41).
Di pelabuhan Talangame inilah Sultan Khairun diberangkatkan ke Goa (India) karena hasutan orang Portugis (Tiele, 1880; 437), dan Sultan Baabullah mengantarkan Francis Drake (1579) kembali berlayar ke Inggris mengunakan kapal Golden Hild (Hanna, 1996:91).
Talangame menjadi sentral perdaganan semasa Portugis dan Spanyol mendominasi perdagangan di Maluku. Kemudian mengalami kemerosotan dan puncaknya adalah ketika kekuatan Portugis berhasil diusir dari Ternate (Reid 1999, 17-18, 27). Meskipun demikian, semasa Sultan Baabullah (1570-1583) dan Sultan Saidi (1583-1606) memasih mengaktifkan pelabuhan tersebut sebagai sentral perdagangan. Pelabuhan Talangame mulai rosot ketika senteral perdagangan cengkeh di fokuskan di Benteng Oranje oleh pihak Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan maksud mengontrol harga cengkeh dan jual-beli secara bebas oleh masyarat. Selain itu, pelabuhan ini juga merosot ketika diberlakukan perdagangan bebas oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1854 di Pelabuhan Besi dengan mengunakan kapal Uap menyebabkan Pelabuhan Talangame ditinggalkan bersama fasilitas pelabuhannnya.
Titik Talangame Harus di Tentukan
Pelabuhan Talangame pernah menjadi saksi interaksi masyarakat Ternate, Maluku dengan orang Melayu, China, Arab, Portugis, Spanyol, Inggris dan para saudaragar lainnya yang datang untuk melakukan transaksi jual-beli cengkeh. Sayangnya semakin berkembangnya Kota Ternate sebagai kota perdagangan beberapa abad yang lalu dan salah satu kerajaan Maritim di kawasan bagian timur Nusantara kehilangan narasi sejarah Pelabuhan Talangame yang pernah berjaya karena cenkeh.
Akhir tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan rempah. Jika China memiliki Jalur Sutera, Indonesia memiliki Jalur Rempah. Rempah dibangkitkan sebagai komoditas, produk, jasa, dan pengalaman, termasuk juga dalam pariwisata.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menginginkan pemerintah Indonesia menghidupkan kembali jalur rempah nusantara, terutama untuk pariwisata nasional. Presiden ke-5 RI tersebut membandingkan jalur rempah nusantara dengan jalur One Belt One Road (OBOR) yang dikerjakan China. “Kalau di Tiongkok sekarang dikenal One Belt One Road (OBOR), itu sebetulnya menggunakan jalur sutra, sebenarnya kita pun punya jalur rempah,” kata Megawati, seusai menyerahkan Anugerah Trisakti Tourism Award 2019 di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta (Koran Sulindo, 22/12/2019).
Terlepas dari keinginan Pemerintah Republik Indonesia yang mengaktifkan jalur rempah nusantara. Meskipun Jalur Rempah tidak dikategorikan sebagai situs ataupun kawasan, melainkan sebagai Jalur Budaya (culture route) yang akan diusulkan ke UNESCO sebagai Warisan Dunia.
Rempah sebagai objek perdagangan, maka akan terjadi ketika pelayaran dilakukan, dan kapal sebagai alat transportasi digunakan menjuju tempat dimana rempah itu dijual. Bila benar demikian maka, jalur rempah, perkapalan, dan pelabuhan. Lantas bagaimana dengan Pelabuhan Talangame yang saat ini belum diketahui letak posisinya?
Beberapa tahun lalu (8 Agustus 2019) melalui Dinas Kebudayaan Kota Ternate telah menggelar Workshop: “Ternate Sebagai Titik Nol Jalur Rempah Dunia”, bertajuk “Rempah dan Nilai Budaya” yang dihelat di hotel Velya. Dari workshop tersebut tertuang 9 butir rekomendasi, dan salah satunya adalah Menetapkan pelabuhan Talangame sebagai titik perdagangan awal di Ternate. Namun sampai saat ini, belum ada penetapan kerah yang dimaksud.
Sementara itu, program Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022, dengan menggunakan kapal KRI Dewa Ruci, sesuai jadwal Ternate juga masuk salah satu kota yang disinggahi. Pemuda/pemudi yang tergabung dalam Laskar Rempah akan tiba di Ternate pada tanggal 14 sampai 16 Juni.
Laskar Rempah akan mengunjungi sejumlah situs sejarah dan destinasi wisata di Ternate. Salah satunya adalah “bekas Pelabuhan Talangame”, lantas dimanakah titik pelabuhan tersebut? Kota Ternate harus benar-benar siap, menyiapkan diri sebagai kota pengusul “Jalur Rempah” mewakili Maluku Utara.
Kota Ternate yang dikenal dengan tinggalan sejarah Portugis, VOC, Belanda yang berlimpah tidak ditemukan di daerah lain dan memiliki nilai tukar yang tidak sebanding. Agar Kota Ternate memiliki nilai tawar yang tinggi di mata dunia sebagai kota wisata dan mampu bersaing dengan daerah lain. Ternate harus binahi tinggalan-tinggalan tersebut dan dikemas dengan baik agar mampu bersaing dengan wilayah lain. Serta sebagai sumber kesejahteraan masyarakat nantinya.
Meskipun agak susah karena terkait dengan sumber sejaman serta kawasan Pelabuhan Talangame yang telah direklamasi. Setidaknya ada semacam prasasti yang mendukung narasi-narasi kesejarahan yang tercatat di Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda bahwa “Porto De Talangame” artinya Pelabuhan Talangame benar-benar ada dan nayata di Ternate. Ini sangat penting karena sejalan dengan napak tilas 500 tahun ekspedisi Magellan (Spanyol) dengan melibatkan berbagai negara